Jelajah

Candi Cangkuang, Garut

Sebelum mencapai kota Garut, bunda sibuk berkata pada ayah untuk mengunjungi sebuah candi yang berada di atas pulau, di tengah danau. “Asyik tuh yah, anak-anak bisa merasakan naik rakit!”, serunya. Ya, dari semua temple atau candi yang pernah mereka kunjungi biasanya memiliki lokasi di tengah kota, atau ditempuh dengan berjalan mendaki bukit, berkuda menembus hutan, hingga menaiki cable-car ke puncak gunung.. namun, belum pernah mendatangi candi mengendarai rakit!

Maka dari itu (dan mumpung masih pagi, Kamojang Green Hotel pun belum dapat menerima regu bunda untuk check-in) ayah segera membelokkan kemudi begitu melihat petunjuk arah ke situs Candi Cangkuang. Setelah parkir dan membayar tiket masuk di loket seharga Rp. 5k/orang, pasukan bunda diarahkan untuk menaiki rakit yang tengah menanti penumpang.

Sekilas info, Cagar budaya Cangkuang terletak di sebuah daratan di tengah danau kecil sehingga untuk mencapai tempat tersebut pengunjung harus menggunakan rakit. Selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya.

Bunda tiada menyangka akan menemukan barisan rakit berjajar indah di tepi danau. Biaya menumpak rakit pulang-pergi untuk dewasa adalah Rp. 4k/orang (anak-anak Rp. 2k/orang) dan baru akan berlayar setelah jumlah penumpang mencapai 20 orang, atau membayar Rp. 80k jika ingin segera angkat sauh. Keluarga bunda tak keberatan menunggu, sembari menikmati pemandangan alam sekitar yang memikat mata.

Tak perlu lama menanti sebab satu persatu pengunjung datang dan duduk dengan rapi. Rakit segera berlayar dilaksanakan oleh one-man-show yang sigap dan cekatan me-manuver-kan “cruise ship” miliknya. Memang bagai menyaksikan sebuah pertunjukan tersendiri tatkala melihat ketangkasan sang nakhoda. Ayah pun memberi ekstra tip kepada kang Kapten yang meskipun berbadan kurus tapi tenaga ekstra! 😮

Kurang lebih 10 menit mengarungi situ, pasukan pun mendarat di daratan yang bernama Pulau Panjang. Pak Kapten menurunkan ‘jangkar’ dan penumpang tertib meniti rakit menuju anjungan. Kawasan cagar budaya ini sudah ditata rapi dengan jalur pathways menuju Candi Cangkuang yang berlokasi di atas bukit.

Candi Cangkuang adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Jawa Barat. Amazing!

Nama candi ini diambil dari nama Desa Cangkuang yang dikelilingi oleh empat gunung besar yakni Gunung Haruman, Gunung Kaledong, Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur. Kata ‘Cangkuang’ sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang daunnya dapat dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren.

Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Tim Sejarah Leles pada tanggal 9 Desember 1966. Penelitian dilaksanakan berdasarkan tulisan wong Belanda bernama Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893, menyebutkan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno dan sebuah arca yang sudah rusak berlokasi di bukit Kampung Pulo.

Makam kuno yang dimaksud adalah makam Arief Muhammad yang oleh penduduk setempat dianggap sebagai sang leluhur. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram yang datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.

Untuk menuju area candi, pengunjung harus melalui sebuah kampung adat bernama Kampung Pulo. Kampung Pulo merupakan sebuah kampung kecil yang terdiri dari (hanya) 6 rumah yang dihuni oleh 6 kepala keluarga dan 1 masjid. Enam rumah tersebut menandakan jumlah anak perempuan Arief Muhammad, dan sebuah masjid dipersembahkan untuk anak laki-lakinya yang meninggal dunia tatkala ia jatuh dari arak-arakan sunatan. Hingga kini, hanya keturunan wanita dewasa berstatus menikah yang diperbolehkan menempati rumah adat tersebut, itu pun bila ada salah satu keluarga meninggal dunia dan telah ditentukan melalui pemilihan keluarga desa setempat.

Di sekitar candi terdapat makam-makam dari keturunan Arief Muhammad dan hanya keturunannya sajalah yang diizinkan disemayamkan didalam area ini. Pada lokasi ini pula turut dijumpai Museum Situs Cagar Budaya Candi Cangkuang, dan keluarga bunda segera menemui pemandu –ternyata beliau adalah seorang pegawai dari Dinas Kebudayaan yang khusus ditugaskan oleh Departemen Pendidikan & Kebudayaan untuk menatar wisatawan yang datang ke Cagar Budaya Cangkuang agar mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai sejarah dari candi Hindu ditengah komunitas masyarakat beragama Islam.

Desa Cangkuang, khususnya di Kampung Pulo, pada waktu itu sudah dihuni oleh penduduk yang menganut agama Hindu terbukti dari adanya candi Hindu (Candi Cangkuang). Kemudian Arief Muhammad datang dan menyampaikan metode dakwah yang tak jauh dari pola dakwah Wali Songo –memiliki prinsip pada ajaran Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian dan keikhlasan hati.

Arief Muhammad menyampaikan ajaran-ajaran dan ditulis dalam naskah-naskah yang mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits. Beliau mengajarkan berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi muslim sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT. Alus pisan!

Selain terdapat foto-foto pemugaran candi, di dalam museum turut disimpan naskah dan kitab kuno usia ratusan tahun, yang membuktikan adanya penyebaran Islam pada permulaan abad XVII di tempat ini. Antara lain Naskah Khotbah Jum’at terpanjang di Indonesia yang terbuat dari kulit kambing, kitab suci Al Qur’an dan Naskah Ilmu Fiqih yang dibuat pada abad 17 dari kulit kayu (saih). Begitu pula dengan adanya makam Embah Dalem Arief Muhammad yang berada di sebelah selatan Candi Hindu Cangkuang, menunjukkan bahwa kerukunan hidup beragama di Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu. *Catat!

Masyarakat Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi sebagian kepercayaan dan ritual lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh, hari Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.

Banyak penulisan yang dibaca bunda pada media elektronik mengenai Candi Cangkuang dan desa adatnya yang terkesan mistis dan misterius, padahal tiada tampak kesan itu ketika laskar bunda menyambanginya. Penduduknya sopan dan ramah khas Priangan, mereka tiada terganggu dengan kedatangan turis dan tetap melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti menyiangi padi di pekarangan rumah. Bapak penjaga loket yang berwajah paling ‘sangar’ sekalipun #mendadaknyengir ketika ditawarkan untuk difoto oleh sang bunda 😆

Setelah menambah pengetahuan mengenai cagar budaya Candi Cangkuang beserta adat istiadat penduduknya, armada bunda kembali berjalan pulang menuju anjungan. Kurang afdol bagi ibu-ibu seperti bunda bila tak berhenti di toko souvenir yang terdapat di sisi jalan. Bunda surprised dengan harga yang ditawarkan ternyata murah nian. Sebagai contoh tas Owl yang ia belikan untuk anaknya di Dusun Bambu dibandrol harga Rp. 95k, sementara disini dengan model tas sama persis hanya dijual seharga Rp. 25k! Bunda dan Maknyak dengan #sukaria memborong tas dan dompet anyaman, selop dan bakiak, alat pijat kayu untuk kerokan, serta cobek dan ulekan kayu seharga lima belas ribu rupiah sahja!

Setelah puas memborong produk kerajinan lokal dan meneguk segar air kelapa, batalyon bunda kembali mengendarai rakit untuk tiba di daratan seberang. Lagi-lagi mereka dihibur oleh pemandangan alami dan aktivitas warga Desa Cangkuang. Nelayan melempar jala, barudak bersenda gurau mandi di danau, serta pedagang membawa barang dagangan di atas rakit. Yang paling seru disaksikan adalah acara buka rantang warga di rakit sebelah. Puluhan orang tua dan anak-anak berbusana kenduri mengadakan jamuan makan-makan di tengah danau, dihibur oleh dentuman ‘live-music’ pulak! Luar biasa.. Sepertinya tak ada hal yang tak bisa dilakukan di atas rakit  😆

Melihat keseruan mereka, bunda pun berkata “Ayah, lain kali kesini bawa rantang ya, mau cobain juga makan di atas situ!” (situ adalah danau dalam dialek Sundanese). Dalam hatinya ayah menyahut “#ayaayawae” 😕

Saran KoperBunda:
  • Sebelum masuk ke area Candi Cangkuang, tiket yang dibeli di loket awal akan diperiksa kembali oleh petugas jaga. Jadi simpan tiket anda baik-baik jangan sampai melayang ke tengah danau.
  • Terdapat spanduk bertuliskan “Lebih berkesan dan berharga kunjungan anda dengan penjelasan dari Guide Cagar Budaya Candi Cangkuang di Site Museum yang akan menambah pengetahuan anda“. Yup setuju! Daripada datang hanya untuk mengambil foto selfie, sewalah juga jasa guide atau pemandu agar anda dapat mengetahui lebih banyak tentang sejarah Candi Cangkuang dan adat istiadat Kampung Pulo yang unik dan menarik. Abah pemandu tidak mematok biaya namun berilah tip yang memadai.
  • Kumpulan naskah Ilmu Tauhid dan Fiqih kuno disimpan dibalik lemari kaca bertuliskan: Perhatosan! Teu kenging dicepeng benda kuno. Artinya: Warning! Don’t touch touch.. :mrgreen:
  • Gunakan pakaian yang nyaman dan sopan, jangan seperti bunda yang mengenakan rok mini! 😯
  • Jangan datang dengan ribut dan berisik, hormatilah ketentuan adat desa dan penduduk setempat.
  • Berhentilah di toko-toko souvenir yang berjejer rapi di Desa Cangkuang. Kemungkinan besar anda akan sama seperti bunda yang kalap mendengar harga murah adanya. 😆
  • Informasi diatas dikumpulkan dari Perpustakaan Nasional RI (gegara menulis blog saya harus kembali rajin ke perpus!) dan penjelasan abah pegawai Depdikbud, serta pengalaman pribadi bunda yang menyatakan bahwa Candi Cangkuang berstatus *must visit! jikalau anda bekunjung ke Garut.
  • Selepas menimba ilmu sejarah bangsa, anak didik bunda lanjut menimba nasi liwet di restoran Liwet Pak Asep Stroberi Kadungora yang letaknya tak jauh dari Cangkuang. Resto Sundanese lainnya dapat anda temui dalam catatan Mulih Ka Desa ala KoperBunda 😉
  • Intip juga kisah seru petualangan warga bunda di Gunung Papandayan, menikmati natural sauna di Kawah Kamojang, serta berperahu ria untuk sarapan di Kamojang Green Hotel & Resort.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

counter statistics